Haji; Antara Kewajiban dan Realita

05/06/2024| IslamWeb

Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—beserta keluarga dan para shahabat beliau, juga orang-orang yang menetapi petunjuk beliau sampai hari akhir.

Alhamdulillah, kafilah orang-orang yang mengesakan Allah masih terus menerus sambung menyambung melakukan perjalanan menuju tanah suci untuk menunaikan kewajiban ibadah haji, dalam rangka meneladani bapak para nabi dan imam orang-orang yang bertauhid, Nabi Ibrahim—`Alaihis salâm—sejak beliau mengumandangkan seruan abadi demi menaati perintah Allah—Subhânahu wata`âlâ—yang dicatat oleh Al-Quran (yang artinya): "Dan serulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan." [QS. Al-Hajj: 27-28]; dan dalam rangka mengikuti sunnah Nabi Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—yang bersabda saat haji wadâ`, "Ambillah dariku tata cara ibadah haji kalian."

Karenanya, begitu bulan-bulan pelaksanaan haji tiba, setiap orang yang mencintai Allah—Subhânahu wata`âlâ—dan mengikuti sunnah Nabi Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam; setiap muslim akan mengarahkan perjalanan menuju tanah suci demi memenuhi panggilan Allah—Subhânahu wata`âlâ.

Namun, apakah kaum muslimin yang sekarang sudah mencapai lebih dari satu milyar jiwa mampu memaknai kewajiban ini dan menyaksikan berbagai manfaat yang diisyaratkan dalam ayat (yang artinya): "Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka," baik di dunia maupun di akhirat.

Sesungguhnya bekal berbagai ibadah dalam komunitas kaum muslimin semestinya dapat mewarnai keseluruhan gerak masyarakat dengan ketaatan mereka kepada Allah dalam semua interaksi mereka agar terlihat dalam perilaku setiap individu. Nah, apakah realita kaum muslimin sudah nampak jelas, di dalamnya ada gaung bekal dari haji; ibadah yang mencampuradukkan hati-hati kaum muslimin dan mengokohkan kesatuan perasaan di dalam hati mereka sebagai buah dari kesatuan syiar ibadah. Apakah sudah nampak demikian? Apakah kaum muslimin dapat mengambil bekal dari haji dan menjiwai hikmah-hikmahnya saat mereka mengaplikasikan hukum-hukum haji itu menurut cara yang disyariatkan dan disunnahkan?

Apakah iring-iringan orang-orang berselendang putih bersih itu bergerak di antara tempat-tempat ibadah haji nan agung menghiasi bumi dan dibanggakan oleh Allah Yang Maha Penyayang kepada para malaikat-Nya, semua dalam keadaan melaksanakan ibadah haji dengan hati yang saling bertaut dan tunduk pada aturan Allah? Apakah hikmah-hikmah haji yang agung dan berbagai pengaruhnya yang luar biasa sudah nampak bergerak bersama iring-iringan itu; diterjemahkan oleh anggota tubuh mereka yang sedang berhaji dan mewujud nyata dalam ibadah haji mereka? Apakah pembeda psikis antara si kaya dan si miskin juga antara yang kuat dan yang lemah sudah mencair dan pergi bersama pakaian yang biasa dikenakan? Jiwa-jiwa pun jadi bersih, penuh kasih dan bersatu. kebersihan jiwa-jiwa itu tak kurang dari kebersihan pakaian ihram.

Kenyataannya: Sesungguhnya berkumpulnya kaum muslimin dalam jumlah yang luar biasa banyak di tanah suci, meskipun pertambahan jumlah itu nampak sebagai salah satu isyarat kesadaran beragama yang positif dan area konsistensi yang benar di dalamnya dapat menambah pengaruh kesadaran beragama itu, hanya saja sekian area yang besar justru memberi jawaban negatif dari pertanyaan-pertanyaan yang tadi telah dilontarkan. Yang demikian karena beberapa sebab, antara lain:

-      Kebanyakan kaum muslimin jauh dari dasar-dasar akidah yang benar. Ini merupakan penyimpangan yang jelas dari jalan Allah yang lurus dan menyalahi petunjuk Nabi yang benar yang sudah memberi peringatan akan kemusyrikan yang terselubung dan terkecil, apalagi yang terbesar. Hal yang mengharuskan pentingnya melakukan penyadaran akan sikap mengesakan Allah—`Azza wajalla—dan memurnikan ibadah untuk-Nya.

Yang sangat disayangkan adalah adanya kelalaian yang jelas-jelas terasa pada sebagian ulama dan sikap diam mereka yang mencurigakan terhadap fenomena kemusyrikan tersebut. Padahal mereka adalah orang-orang yang mendapat kepercayaan untuk mengemban risalah agama Islam ini. Karenanya, hanya Allah jua tempat mengadu!

-      Ibadah tersebut bagi kebanyakan kaum muslimin telah menjadi sebatas perjalanan wisata (rekreasi). Hampir tak ada lagi spirit keimanannya. Bahkan menjadi bahan untuk saling membanggakan dan menyombongkan diri. Seolah-olah tujuannya adalah agar salah seorang dari mereka bisa menghiasi namanya dengan embel-embel haji. Sehingga jika tidak disebut haji, itu dianggap sebagai sebuah penghinaan baginya.

-      Dan disebabkan ketidakmengertian yang dominan ada di kalangan banyak jamaah haji akan etika dan akhlak dalam beribadah haji, terutama dalam penerapan praktik haji saat tawaf, sa`i dan ketika berpindah-pindah di antara tempat-tempat pelaksanaan ibadah haji, terjadilah berbagai perilaku tidak terpuji di kalangan para jamah haji dan sikap menyakiti tanpa alasan yang benar, sementara hal tersebut jelas terlarang. Berdasarkan firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "(Musim) haji itu adalah (pada) beberapa bulan yang dimaklumi. Barang siapa yang mengerjakan (ibadah) haji dalam bulan-bulan itu, maka tidak boleh rafats (berkata jorok), berbuat fasik dan berbantah-bantahan dalam (mengerjakan iabadah) haji." [QS. Al-Baqarah: 197]

Sebagai upaya saling menasihati, kami ingin mengingatkan beberapa permasalahan penting dalam topik kali ini. Dan hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan taufik.

Sesungguhnya kewajiban haji harus ditunaikan sesuai dengan sunnah yang shahih dan sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—dengan menghadirkan semua ingatan tentang peristiwa yang dialami para nabi dan para rasul, terutama peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim—`Alaihis salâm—saat menitipkan bayi dan istrinya kepada Baitullah di padang pasir yang panas membara dengan hati yang penuh dengan keimanan seraya mengatakan, "Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur." [QS. Ibrâhîm: 37]

Demikian juga sikap nabi dan teladan kita, Nabi Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallamketika beliau melaksanakan hajinya yang terakhir bersama ribuan umat Islam dan menyampaikan khutbah haji wadâ` (perpisahan). Dalam khutbah itu, beliau menerangkankan petunjuk-petunjuk agama Islam dan prinsip-prinsipnya yang jelas. Cukuplah bagi kita apa yang disampaikan oleh beliau dalam khutbah tersebut: "Sesungguhnya darah dan harta kalian haram atas kalian, seperti haramnya hari kalian ini, pada bulan kalian ini, dan di negeri kalian ini. Ingatlah! Sesungguhnya segala sesuatu dari perkara masa jahiliyah telah digugurkan (dihapuskan) di bawah telapak kakiku. Darah masa jahiliyah juga digugurkan. Riba jahiliyah juga di hapuskan. Bertakwalah kalian kepada Allah dalam masalah wanita. Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian satu perkara; kalian tidak akan tersesat setelah adanya perkara itu jika kalian berpegang teguh padanya, (yaitu): Kitabullâh (Al-Quran)." [HR. Lima imam selain An-Nasâ'i. Redaksi hadits dari Abû Dâwûd. Menurut Al-Albâni: shahih]

Bersamaan dengan waktu pelaksanaan haji terakhir Rasul, turunlah firman Allah (yang artinya): "Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagi kalian, dan telah Aku ridai Islam sebagai agama bagi kalian." [QS. Al-Mâ'idah: 3]. Hal yang semakin menguatkan sempurnanya Islam sebagai agama yang mengatur seluruh kehidupan seorang muslim. Dan bahwa upaya apa pun untuk memberangus agama ini melalui dakwaan para pengusung kebatilan akan tertolak dan kembali pada diri mereka sendiri. Karena mempermainkan agama Allah sama sekali tidak dapat diterima.

Sesungguhnya berbagai pemandangan, ingatan, dan peristiwa-peristiwa yang disukai oleh jiwa, yang dikenang oleh orang yang tengah berhaji saat ia menunaikan rangkaian proses ibadah haji, mengajari kita keimanan yang benar kepada Allah dan indahnya tawakkal kepada-Nya. Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakkal, karena mengimani dan meyakini apa yang ada di sisi Allah, niscaya Allah akan memberikan kepadanya segala yang menjadi tujuannya. (Allah berfirman yang artinya): "Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." [QS. Ath-Thalâq: 3]

Dan bagi orang yang mendapat taufik untuk menunaikan ibadah ini, ada kesempatan yang sangat baik untuk memperbaharui perjanjian bersama Allah—Subhânahu wata`âlâ. Karena dalam hal tersebut, terdapat balasan yang sangat berlimpah. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Umrah ke umrah berikutnya menjadi penghapus dosa-dosa di antara keduanya. Dan haji mabrur, tak ada balasan baginya kecuali surga." [HR. Muslim]

Kemudian, sesungguhnya haji merupakan salah satu fenomena kebersatuan kaum muslimin. Di dalamnya juga terkandung peringatan akan peristiwa dikumpulkannya seluruh manusia pada hari akhir. Dalam haji juga terdapat hal-hal untuk melatih kesabaran, kegigihan, berjuang melawan nafsu, dan berjihad melawan musuh. Bahkan haji termasuk amalan yang paling utama. Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda ketika beliau ditanya tentang amalan apa yang paling utama, "Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya." Ditanyakan lagi, "Lalu apa?" Beliau menjawab, "Berjihad di jalan Allah." Ditanyakan lagi, "Lalu apa?" Rasul menjawab, "Haji yang mabrur." [HR. Tujuh imam, selain Abû Dâwûd]

Dan ketika `Aisyah—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Ya Rasulullah! Kami memandang bahwa jihad merupakan amalan yang paling utama. Lalu mengapa kami tidak boleh berjihad?" Rasul menjawab, "Tidak. Tetapi jihad yang paling utama adalah haji mabrur." [HR. Al-Bukhâri]

Terakhir, kami ingin mengingatkan satu poin penting dalam masalah ini. Sudah biasa terlontar dari lisan banyak para penulis dan pemikir, satu pernyataan bahwa haji merupakan sebuah konferensi Islam. Tak diragukan lagi, maksud mereka tentu adalah makna-makna yang baik yang lahir dari berkumpulnya kaum muslimin, mereka saling mengkaji kondisi, dan berupaya menemukan solusi atas problematika yang mereka hadapi. Namun hal tersebut, meskipun penting, bukanlah tujuan haji yang sebenarnya. Karena haji tidak terbatas pada sekalangan orang terpilih sebagaimana berlaku pada konferensi yang tidak cukup terbatas pada satu atau tempat-tempat tertentu saja. Tetapi, haji adalah ibadah, mempersiapkan dan melakukan perjalanan ke Baitullah. Dan ia berlaku umum bagi setiap orang dari kaum muslimin yang pada dirinya telah terpenuhi syarat-syarat berhaji.

Karena itu, selanjutnya, haji merupakan satu syiar ibadah yang mempunyai rukun, kewajiban dan syarat-syarat. Kita sangat perlu untuk dapat memahami hikmahnya, mengetahui batasan-batasannya, dan semaksimal mungkin mengambil manfaatnya. Cukuplah bagi kita janji Ilahi, bahwa balasan bagi orang yang dapat melakukannya dengan baik dan sempurna adalah surga.

Hanya kepada Allah kita memohon, semoga Dia berkenan menerima ibadah haji kaum muslimin, menjadikan haji mereka haji mabrur dan segala usaha mereka mendapat balasan setimpal.

 

 

www.islamweb.net