Fidyah Ibu Hamil yang Tidak Berpuasa Karena Mengkhawatirkan Janinnya; Kewajiban Si Ibu atau Wali Si Janin?

2-4-2019 | IslamWeb

Pertanyaan:

Apa hukum seorang ibu hamil delapan bulan yang dilarang berpuasa oleh dokter pada bulan Ramadhân yang penuh berkah ini? Berapa jumlah fidyah yang harus dibayarkan untuk setiap hari, jika diuangkan dengan mata uang Mesir? Apakah si ibu sendiri yang wajib membayarnya ataukah suaminya?

Jawaban:

Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Jika si ibu mendapat rukhshah (keringanan) untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhân karena khawatir terhadap keselamatan dirinya, maka tidak ada kewajiban yang harus ia tunaikan selain meng-qadhâ' puasa itu. Namun jika ia tidak berpuasa karena khawatir terhadap keselamatan janinnya, maka selain meng-qadhâ', ia juga berkewajiban membayar fidyah, yaitu memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari puasa yang ia tinggalkan, sebagaimana pendapat banyak ulama.

Adapun jumlah fidyah yang harus ia keluarkan adalah satu mud makanan atau sekitar 750 gram makanan, untuk setiap hari puasa yang ia tinggalkan. Sementara menurut mazhab Hambali, ia harus mengeluarkan satu mud gandum, atau setengah shâ` (dua mud) dari selain gandum, atau sekitar 1,5 kilogram. Pendapat kedua ini jelas lebih hati-hati.

Namun tidak sah mengeluarkan fidyah dengan harga makanan tersebut (uang), menurut jumhur ulama, tetapi harus dalam bentuk makanan untuk orang miskin, guna menjalankan perintah Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Dan orang-orang yang sangat berat menjalankan puasa (jika mereka tidak berpuasa) wajib membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin." [QS. Al-Baqarah: 184]

Jika si ibu wajib membayar fidyah, apakah yang wajib mengeluarkannya adalah si ibu ataukah wali si janin? Masalah ini menjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Sebagian mereka berpendapat bahwa fidyah itu adalah kewajiban di pundak wali si janin, dan pendapat ini dipandang kuat oleh mazhab Hambali. Sementara sebagian yang lain berpendapat bahwa fidyah itu adalah kewajiban si ibu, dan ini dipandang kuat oleh mazhab Syafi`i. Tetapi jika wali si janin mambayarkan fidyah untuk si ibu dengan izinnya, maka itu sah menurut seluruh ulama.

Dijelaskan dalam kitab Ar-Raudhul Murbi` yang digabung dengan Hâsyiyah (catatan tambahan)-nya karya Ibnul Qâsim: "[Dan] jika keduanya [ibu hamil dan ibu menyusui] tidak berpuasa karena khawatir [terhadap janin mereka] saja [maka keduanya harus meng-qadhâ'] sejumlah hari puasa yang mereka tinggalkan, [juga memberi makan (membayar fidyah)] yakni wajib atas wali si janin membayarkan fidyah bagi mereka berdua [kepada satu orang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan] dalam ukuran yang sah untuk dijadikan kafarat (fidyah). Dan secara zahir, kewajiban fidyah itu harus dibayarkan oleh wali si janin dari harta miliknya, sebab tidak berpuasanya si ibu adalah karena janinnya. Ungkapan penulis matan mengesankan bahwa 'memberi makan (fidyah)' itu adalah kewajiban di pundak si ibu itu sendiri, oleh karenanya, pensyarah meluruskan pemahaman itu (kepada kewajiban wali). Dalam kitab Al-Furu` disebutkan: 'Memberi makan (fidyah) adalah kewajiban wali'. Dalam kitab Al-Funûn: Ada kemungkinan kewajiban itu diembankan ke pundak si ibu, dan ini terlihat lebih pas, karena janin mengikuti si ibu. Namun mungkin juga menjadi kewajiban bersama antara si ibu dan orang yang bertanggung jawab atas nafkah si janin, dari kerabatnya, atau dari hartanya, karena yang harus memberikan perlindungan dan kasih sayang adalah mereka berdua."

Adapun mazhab Syafi`i, sebagaimana telah kami sebutkan, menyatakan bahwa fidyah adalah kewajiban pada harta orang yang menerima rukhshah (yaitu ibu), dan barangkali pendapat inilah yang lebih kuat—Insyâ'allâh.

Dalam kitab Mughni Al-Muhtâj dijelaskan: "[Atau] keduanya (ibu hamil dan ibu menyusui) khawatir [terhadap janin] saja, misalnya ibu hamil khawatir anaknya keguguran, atau ibu menyusui khawatir air susunya kekurangan jika berpuasa, sehingga berbahaya bagi si bayi [maka keduanya diwajibkan mambayar fidyah] dari harta mereka sendiri, disertai dengan kewajiban meng-qadhâ puasa itu [menurut pendapat yang paling kuat], meskipun keduanya dalam keadaan musafir atau sakit."

Wallâhu a`lam.

www.islamweb.net