Islam Web

  1. Fatwa
  2. KEUTAMAAN DAN KEMULIAAN
  3. Keutamaan Para Nabi
  4. Nabi Muhammad
Cari Fatwa

Mukjizat Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—Lebih Istimewa daripada Mukjizat Seluruh Nabi

Pertanyaan

Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—telah memberikan kepada setiap nabi mukjizat sebagai bukti di hadapan kaum mereka atas keesaan dan keberadaan Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ. Tetapi kita menemukan bahwa Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—telah memberikan banyak mukjizat kepada Nabi-Nya, Isa—`Alaihis salâm, seperti menghidupkan orang mati, menyembuhkan penyakit sopak (dengan izin Allah), dan mukjizat-mukjizat besar lainnya yang tidak dimiliki oleh Nabi kita, Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam, padahal beliau adalah penutup para nabi. Karena itu, saya memohon penjelasan kepada Anda atas ketidaksempurnaan pemahaman saya ini.

Jawaban

Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—telah memberikan perkara-perkara luar biasa kepada para nabi terdahulu, sebagai mukjizat bagi mereka, sekaligus untuk membuktikan kebenaran mereka dan menegakkan hujjah (argumentasi) kebenaran di depan kaum mereka.

Mukjizat setiap nabi diberikan sesuai dengan jenis keahlian yang dimiliki oleh kaum tempat mereka diutus. Oleh karena itu, Nabi Musa—`Alaihis salâm—diberikan mukjizat yang sesuai dengan keahlian dominan kaumnya, yaitu sihir. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—membatalkan sihir mereka dengan mukjizat yang Dia wujudkan melalui kedua tangan Nabi Musa, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya (yang artinya): "Karena itu, nyatalah yang benar dan batallah (sihir) yang selalu mereka kerjakan." [QS. Al-A`râf: 118]. Mereka tidak mampu melawannya, meskipun mereka begitu berpengalaman dan sangat ahli dalam bidang sihir.

Kemudian kaum Nabi Isa—`Alaihis salâm—adalah kaum yang ahli dalam bidang kedokteran dan pengobatan. Karena itu, Allah menyembuhkan melalui tangan Nabi Isa penyakit-penyakit yang tidak mampu mereka sembuhkan, bahkan Allah menghidupkan orang mati melalui tangannya.

Dapat diperhatikan, bahwa mukjizat-mukjizat para nabi terdahulu dibatasi oleh dua hal:

Pertama: Mukjizat mereka bersifat indrawi, seperti berubahnya tongkat kayu menjadi ular dan terbelahnya lautan bagi Nabi Musa; api menjadi dingin dan memberi keselamatan bagi Nabi Ibrahim—`Alaihis salâm; serta menghidupkan orang mati dan menyembuhkan penyakit bagi Nabi Isa.

Kedua: Mukjizat mereka terbatas oleh waktu dan tempat, sehingga tidak memiliki sifat universal dan kekal, karena nabi-nabi sebelumnya diutus untuk kaum mereka saja. Maka oleh karena Nabi Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—adalah penutup para nabi, dan risalah beliau adalah penutup seluruh risalah kenabian, maka Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—pun memberikan kepada beliau dua macam mukjizat:

Pertama: Mukjizat indrawi yang dapat disaksikan oleh orang-orang yang hidup di zaman beliau dan menyertai beliau, seperti terbelahnya bulan, keluarnya air dari jari-jemari beliau, dan berbagai mukjizat lainnya yang disebutkan dalam riwayat-riwayat mutawatir. Mukjizat-mukjizat ini mirip dengan mukjizat para nabi dan rasul sebelum beliau.

Kedua: Mukjizat maknawi dan `aqli (logika), yaitu Al-Quranul Karim yang dikekalkan oleh Allah sepanjang zaman, dan melaluinya, Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—menegakkan hujjah kebenaran sepanjang masa, karena seluruh bangsa Jin dan manusia tidak mampu untuk mendatangkan sesuatu yang serupa dengannya.

Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Katakanlah: 'Sungguh jika manusia dan Jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain." [QS. Al-Isrâ': 88]

Ketidakmampuan mereka untuk menandinginya akan terus berlangsung hingga hari Kiamat. Buktinya, mereka selalu ingin mendustakannya, dan cara yang paling ampuh untuk mendustakannya tentu saja adalah dengan membuat tandingannya, atau membuat satu surat saja yang serupa dengannya. Apalagi, di dalam Al-Quran sendiri terdapat tantangan langsung dan terbuka bagi siapa saja yang dapat mendatangkan sesuatu yang serupa dengannya. Maka ketidakmampuan mereka untuk mendatangkan sesuatu yang serupa dengannya, padahal mereka sangat ingin mendustakannya, adalah sebuah bentuk kelemahan yang sangat nyata.

Dengan demikian, jelaslah bagi kita, bahwa mukjizat Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—memiliki keistimewaan dibandingkan seluruh mukjizat saudara-saudara beliau, para nabi yang lain, dalam hal keagungan, universalitas, dan kekekalannya. Hal ini dikuatkan oleh sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya, bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Tidak seorang pun nabi melainkan diberi mukjizat yang biasanya membuat manusia beriman kepadanya. Dan mukjizat yang diberikan kepadaku adalah wahyu yang disampaikan Allah kepadaku. Karena itu, aku berharap menjadi nabi yang paling banyak pengikutnya pada hari Kiamat kelak." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Menjelaskan hadits ini, Ibnu Hajar berkata, "Maksudnya: mukjizatku yang dengannya aku menantang (seluruh manusia) adalah wahyu yang diturunkan kepadaku, yaitu Al-Quran." [Fathul Bâri]

Wallâhu a`lam.

Fatwa Terkait